Kamis, 26 April 2018

INTERAKSI ALLAH DENGAN HAMBANYA DI DALAM SHALAT.




INTERAKSI ALLAH DENGAN HAMBANYA DI DALAM SHALAT.

Oleh : donnieluthfiyy

Jawaban Allah swt ketika membaca Surat Al Fatihah di dalam Shalat...
Hanya Para Awliya Allah yang mampu mendengar jawaban dari Allah swt tersebut.
Jadi jika shalatnya belum bisa seperti itu, jangan merasa " aku yang paling tahu tentang kebenaran !!! ".

Ahkamul Qur’an Sayyidina Ibnu Arobi.

ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -  أَنَّهُ قَالَ: {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ يَقُولُ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي يَقُولُ الْعَبْدُ: الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي يَقُولُ الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ يَقُولُ تَعَالَى: مَجَّدَنِي عَبْدِي يَقُولُ الْعَبْدُ: إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَهَذِهِ الْآيَةُ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ يَقُولُ الْعَبْدُ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ يَقُولُ اللَّهُ: فَهَؤُلَاءِ لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ}. فَقَدْ تَوَلَّى سُبْحَانَهُ قِسْمَةَ الْقُرْآنِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَبْدِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، فَلَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَهَذَا دَلِيلٌ قَوِيٌّ، مَعَ أَنَّهُ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -  أَنَّهُ قَالَ: {لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ}. وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: {مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلَاثًا غَيْرَ تَمَامٍ}.

Ditetapkan dari Nabi saw, sesungguhnya beliau bersabda : { Allah swt berfirman : Aku membagi sholat antara aku dengan hambaku menjadi dua bagian, maka sebagiannya adalah untukku dan sebagian lainnya untuk hambaku dan untuk apa yang diminta oleh hambaku, berkatalah hambaku : Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, Allah swt menjawab : Hamidani Abdi, berkata hambaku : Arrohmanur Rohiim, Allah swt menjawab : Atsna ‘Alayya Abdii, Hambaku berkata : Maliki Yaumid Diin, Allah swt menjawab : Majjadani Abdii, Hambaku berkata : Iyyaka Na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah swt menjawab : Fa Hadzihil Ayaatun Baini wa Baina Abdii wa li 'abdi maa sa-ala, berkatalah hambaku : Ihdinash Shirotol Mustaqim Shirotol Ladzina An’amta ‘alaihim Ghoiril Maghdlubi ‘alaihim Wa Ladl Dloollin, Allah swt menjawab : Fa Haaulaa-i Li’abdii wa li 'abdi maa sa-ala}.
Dan sungguh Allah swt telah mengurus pembagian Al Qur’an diantara Allah swt dan hambanya dengan sifat tersebut, Maka tidak ada sholat bagi seseorang  yang tidak membaca Surat Al Fatihah, dan ini adalah dalil yang kuat, begitupun sesungguhnya telah di tetapkan dalam hadits shahih dari Rasulullah saw – Sesungguhnya beliau bersabda {Tidak ada shalat bagi seseorang yang tidak membaca surat Al Fatihah} dan ditetapkan darinya bahwa sesungguhnya beliau bersabda : { siapa orangnya yang shalat tidak membaca surat Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu menjadi kurang tiga, tidak sempurna}.

Wallahu a'lam..  Semoga bermanfa'at.

Sabtu, 07 April 2018

Kecurangan Asatidz Salafi Wahabi dalam menggunakan Dalil sebagai Hujjah mereka.



Kecurangan Asatidz Salafi Wahabi dalam menggunakan Dalil sebagai Hujjah Aqidah/paham mereka.

Oleh : donnieluthfiyy

Setelah menyaksikan dan memperhatikan Video yang di unggah di Youtube saat Debat masalah Tahlilan, salah satu Ustadz Salafi-Wahabi mengutip sebuah teks dalam Kitab I’anatu Thalibiin ( إعانة الطالبين ) untuk dijadikan Hujjah bagi pemahaman Aqidah mereka yang membid’ahkan Tahlilan.
Teks yang dikutip tersebut adalah sbb ;
(نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها)
Dibaca : Na’am, Maa Yaf’alun Naasu minal Ijtima’I ‘inda ahlil Mayit wa Shun’it Tho’aam, minal Bid’il munkaroh Allatii yutsaabu ‘alaa man’ihaa.
Terjemahan : “Ya benar, Apa yang dilakukan manusia dari berkumpulnya mereka di rumah keluarga si Mayit, kemudian (Keluarga si mayit) menghidangkan makanan (untuk mereka) adalah sebagian dari Bid’ah yang Munkar yang diberikan pahala terhadap orang yang mencegahnya”. (I’anatuth Thalibin, 2/165)
Memang secara jelas dalam kutipan tersebut seakan-akan menggambarkan kebiasaan penduduk di Indonesia berkenaan dengan tradisi Tahlilan, yakni ketika ada seorang yang meninggal Dunia kemudian tetangga di undang oleh keluarga si Mayit untuk berkumpul mendo’akan si mayit dan setelah itu mereka mendapatkan hidangan Cuma-Cuma yang disediakan oleh keluarga si Mayit sebagai bentuk terimakasih atas berkenannya mereka memenuhi undangan keluarga si Mayit.
Dalam hal ini mari kita garis bawahi terlebih dahulu kalimat “ Undangan “, dan kalimat “ bentuk Terimakasih “.

Ketika membahas suatu hukum dalam suatu permasalahan dengan mengutip dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits, maka kita memerlukan sebuah data dengan rumusan masalah yaitu : “Dalam hal apa dan dalam keadaan bagaimana konteks Al Qur’an dan Hadits tersebut turun?”, Data ini disebut dengan Asbabun Nuzul (Sebab-sebab turunnya Al Qur’an) dan Asbabul Wurud (Sebab-sebab diungkapkannya Hadits), hal tersebut agar tidak sampai terjadi suatu penetapan hukum yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Ayat ataupun Haditsnya.

Ketika kita mengutip suatu perkataan Ulama dalam sebuah Kitab, maka kitapun perlu menganalisa bagaimana konteks yang sedang dibahasnya, apa sebab dari kemunculan suatu kalimat?, dan apa yang sedang dibahas?, sehingga baru bisa disimpulkan ke arah hukum apa kutipan ini di peruntukan.
Sekarang mari kita coba memahami bagaimana sebenarnya Konteks yang menjadi penyebab pengarang kitab menyampaikan kalimat yang dikutip oleh Asatidz Salafi-Wahabi tersebut.
Karena kutipan tersebut diawali dengan kata “Na’am” yang artinya “Iya !”, menandakan ada sebuah pertanyaan yang disampaikan Pada teks sebelum kutipan tersebut dalam Kitab I’anatu Thalibin, yang memberikan bahasan seperti ini ;
Teks lengkapnya :
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
Terjemahnya : “Dan sungguh telah aku perhatikan atas beberapa pertanyaan yang diangkat (ditanyakan) kepada para Mufti Kota Mekah yang Mulia, didalam perkara perbuatan keluarga si mayit yang menghidangkan makanan. Dan (Aku perhatikan pula) Jawaban mereka terhadap pertanyaan tersebut. (Adapun penjelasan mengenai keduanya) yaitu sebagaimana pendapat para Mufti yang mulia di Tanah Harom tersebut (Semoga Allah swt) senantiasa memberikan kemanfa’atan kepada mereka untuk manusia sepanjang masa, Dalam hal Kebiasaan (‘Urf) disuatu Negeri yang terjadi pada penduduknya, yakni bahwa seseorang ketika meninggal dunia, dan kemudian datanglah para kenalannya serta tetangga dekatnya berta’ziyah[**Tanpa di undang], maka sudah menjadi kebiasaannya mereka yaitu dengan menunggu-nunggu [** duduk-duduk berdiam ] untuk dihidangkannya makanan (oleh keluarga si Mayit), dan dikarenakan rasa malu yang meliputi keluarga si Mayit, maka mereka (keluarga si mayit) membebani diri mereka dengan beban yang sempurna, kemudian mereka (keluarga mayit) menyiapkan kepada Para penta’ziyah makanan yang banyak, dan menghadirkan (Menghidangkan) kepada mereka dengan kepayahan yang luar biasa. Maka apakah bila seorang Kepala penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada keluarga si mayyit dengan mencegah permasalahan kebiasaan tersebut secara keseluruhan agar mereka kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang Ma’tsur berasal dari sebaik-baiknya manusia dan kembali menuju ajaran Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), sekiranya ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (Pencegahan/pelarangan itu) ?”.

Ada tiga permasalahan yang di bahas dalam permasalahan diatas :
  1. Kebiasaan berta’ziyah saat mayit baru meninggal dunia hanya sekedar menampakan bela sungkawa tanpa punya kepentingan yang bisa meringankan beban keluarga si mayit. Ini adalah kebiasaan orang-orang Modern di kota-kota besar dan khususnya orang-orang selain Muslim.
Sedangkan kebiasan Muslim di negeri kami adalah para tetangga mendatangi keluarga si mayit saat baru meninggal dunia kemudian kami membantu menyiap-nyiapkan untuk kebutuhan yang dibutuhkan oleh keluarga si mayit (Dalam Proses penyelenggaraan Jenazah), bahkan di sebagian daerah para wanita (ibu-ibu) datang dengan membawa berbagai jenis makanan dari bentuk beras sampai gula dan bumbu masak.
  1. Permasalahan yang dibahas adalah bukan berkenaan dengan Tahlilan, tapi berkenaan dengan Ta’ziyah saat mayit baru saja meninggal dunia, karena dalam teks tersebut jelas bahwa mereka para penta’ziyah datang tanpa di undang oleh keluarga si mayit dengan tujuan menampakan bela sungkawa tadi, sedangkan kebiasaan yang terjadi di Indonesia berkenaan dengan Tahlilan adalah atas Undangan keluarga si Mayit, baik dengan mengundang secara lisan maupun tulisan.
  2. Berkenaan dengan hidangan makanan dalam konteks permasalah tersebut adalah bahwa keluarga si mayit merasa terbebani dengan kedatangan para penta’ziyah yang duduk-duduk (Sekedar menunjukan bela sungkawa) yang kemudian keluarga si mayit menyiapkan makanan yang banyak karena merasa tidak nyaman jika para penta’ziyah tersebut di hiraukan begitu saja.
Berbeda dengan Tradisi Tahlilan Umat Muslim di Negeri kami, karena kami datang atas undangan keluarga si mayit, dengan jumlah yang sudah diperhitungkan oleh keluarga si mayit, dan keluarga si mayit pun tidak merasa terbebani dengan hidangan makanan yang di sajikan karena sudah diperhitungkan, serta selain itu, semua hidangan tersebut adalah bentuk terimakasih kepada para tamu undangan karena berkenan mendatangi undangannya dan mau mendo’akan keluarganya yang meninggal dunia.

Jadi maksud pelarangan dalam konteks permasalahan tersebut adalah berkenaan dengan para Penta’ziyah yang berdatangan ketika Mayit baru meninggal dunia untuk sekedar menampakan bela sungkawa, kemudian mereka duduk-duduk berlama-lama sambil menunggu sesuatu dihidangkan kepada mereka. Jelas sekali secara nalar yang normal juga bahwa hal tersebut adalah kebiasaan yang sangat buruk, karena akan sangat membebani bagi keluarga si Mayit, sedangkan mereka sedang dalam keadaan bersedih.

Jadi kita bisa melihat bagaimana mereka Para Salafi-Wahabi menggunakan dalil-dalil yang dihubung-hubungkan demi menutupi Aqidah keyakinan mereka yang semu, mereka mempelajarai Agama ini bukan atas dasar taat kepada Agama, namun atas dasar kehendak nafsu mereka, mereka tidak mencari kebenaran tapi mereka selalu berusaha mendapatkan pengakuan atas kebenaran semu yang mereka yakini. Target mereka adalah orang-orang Islam yang tidak mau ngaji, yang baru mengenal Ajaran Islam dan sedang bersemangat untuk mengamalkannya, tanpa dasar yang kuat akhirnya banyak saudara kita yang terbawa oleh Paham ajaran mereka.


Wallahu A’lam…. Semoga bermanfa’at


List Video