Jumat, 23 Agustus 2019

Biografi Mbah KH Ahmad Dalhar Watucongol Muntilan Magelang



Karomah Mbah Kyai Dalhar, Watucongol, Suaranya terdengar sampai 300 meter

Berikut ini adalah ringkasan manaqib beliau yang penulis peroleh dari keterangan keluarga. Terutama kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq dan beberapa petikan catatan yang penulis peroleh dari catatan – catatan Mbah Kyai Dalhar.

KELAHIRAN & NASABNYA

Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.

Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.

TA’LIM DAN RIHLAHNYA

Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.

Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.

Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.

RIYADHAH DAN AMALIAHNYA

Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.

Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.

Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

KARAMAHNYA

Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal

KARYA – KARYANYA

Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

MURID – MURIDNYA

Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.

WAFATNYA

Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Ditulis oleh : Muhammad Wava Al-Hasani

Hukum Qurban dengan Hewan Betina dan Dalam Keadaan Hamil



Hukum Qurban dengan Hewan Betina dan Dalam Keadaan Hamil

Diantara dalil diperbolehkan ber-Qurban dengan hewan jantan maupun betina adalah pendapat Imam Nawawi dalam Kitab Majmu Juz 8 Hal. 397

يَصِحُّ التَّضْحِيَةُ بِالذَّكَرِ وَبِالْأُنْثَى بِالْإِجْمَاعِ
"Dan Sah sembelihan Qurban dengan hewan jantan maupun betina"

Adapun mana yang lebih utama para Ulama terjadi Khilaf...

وَفِي الْأَفْضَلِ مِنْهُمَا خِلَافٌ (الصَّحِيحُ) الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْبُوَيْطِيِّ وَبِهِ قَطَعَ كَثِيرُونَ أَنَّ الذَّكَرَ أَفْضَلُ مِنْ الْأُنْثَى وَلِلشَّافِعِيِّ نَصٌّ آخَرُ أَنَّ الْأُنْثَى أَفْضَلُ

Dan berkenaan Sembelihan hewan Qurban yang hamil, maka ada 2 pendapat berbeda dikalangan Ulama, adapun yang mu'tamad dalam Madzhab Syafi'i adalah tidak sah, akan tetapi ada pendapat yang dianggap kuat dari Ibnu Rif'ah yang berpendapat sah...
Berikut kutipan dalam kitab I'anah...

وَالْمُعْتَمَدُ عَدَمُ إِجْزَاءِ التَّضْحِيَةِ بِالْحَامِلِ خِلَافًا لِمَا صَحَّحَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ

Bahkan dalam Kitab Asnal Matholib yang di susun oleh seorang Ulama yang menjadi rujukan dalam madzhab Syafi'i yang bernama Al Hafidz Syaikh Zakaria Al Anshori, beliau berpendapat sbb :

وقال ابن الرِّفْعَةِ الْمَشْهُورُ أنها تُجْزِئُ لِأَنَّ ما حَصَلَ بها من نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِينِ
“Ibnu Ar-Rif’ah berkata, ‘Pendapat yang masyhur/terkuat adalah mengatakan bahwa berqurban dengan hewan yang hamil diperbolehkan (sah), karena berkurangnya daging hewan yang hamil bisa ditambal dengan janinnya”.

Dalam kalimatnya beliau menuliskan bahwa pendapat Ibnu Rif'ah adalah pendapat yang Masyhur, artinya pendapat itu sangat kuat...
Adapun sembelihan Induk sudah mencukupi bagi janin dalam perut ibunya adalah sbb :
hadis riwayat Abu Dawud,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ "ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ"
“Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, ‘Penyembelihan janin itu (sudah cukup dengan) penyembelihan induknya” (H.R.Abu Dawud).

Wallahu A'lam bish Showab...

donnieluthfiyy
Senin, 12 Agustus 2019.

Tabiat Manusia saat di Uji dengan Musibah




Tabiat Manusia saat di Uji dengan Musibah.

Telah berkata Kanjeng Syaikh Abdul Qadir Al Jilani ra...
"Saat seseorang di uji dengan suatu Musibah, baik berupa sakit, bencana, keuangan, kekecewaan dan kebangkrutan, maka pertama Ia akan bertindak dengan kekuatan diri sendirinya, sehingga saat upaya diri sendirinya tidak menghasilkan jalan keluar, maka ia akan meminta pertolongan makhluk lain, semisal kepada Para penguasa, Pengusaha, dan orang2 berpengaruh. Jika ia sakit maka ia akan meminta pertolongan kepada dokter, Thabib dll, sehingga saat semua itu juga tidak menghasilkan jalan keluar, barulah ia akan meminta pertolongan Allah swt dengan meratap, berdo'a, beramal dengan banyaknya amal ibadah serta merendahkan dirinya dihadapan Allah swt. sekali-kali Allah swt tidak menerima semua Ratapannya tersebut, sebelum ia benar-benar memutuskan dirinya dari kebergantungannya kepada Hal-hal duniawi, setelah ia bisa melepaskan dirinya dari semua itu, barulah akan tampak Taqdir dan keputusan Allah swt dan lepaslah ia dari kebergantungan kepada sebab-sebab yang bersifat duniawi tersebut, maka hanya tinggal Ruhnya sajalah pada dirinya.

Dalam Tahap ini yang tampak olehnya hanyalah ketentuan dan perbuatan Allah swt semata, dan tertanamlah dalam hatinya keyaqinan dan ketauhidan yang nyata kepada Allah swt. Ia memahami haqiqat bahwasannya tiada pelaku atau gerak ataupun diam kecuali Allah swt saja, tiada kebaikan atau keburukan, tiada kerugian atau keuntungan, tiada Faidah atau Anugerah, tiada hidup atau mati, tiada terbuka atau tertutup, tiada kaya atau Papa (Miskin) melainkan kesemuanya itu ada dalam genggaman tangan Allah swt semata.

Ia tiada ubahnya seperti Bayi dalam susuan Ibunya, atau Mayit atas orang yang memandikannya, ataupun seperti bola yang dimainkan pemainnya, bergulir dan melambung kesana - kemari senantiasa berubah tempat dan bergerak kedudukannya, Ia tidak memiliki daya serta upaya. Maka hilanglah ia dari dirinya dan masuk kedalam Af'al (perbuatan) Allah swt semata-mata.

Hamba Allah yang semacam ini yang dilihatnya adalah perbuatan Allah swt saja, yang didengar dan diketahui hanyalah Allah swt, jika Ia melihat sesuatu, maka yang dilihatnya adalah perbuatan Allah swt, jika Ia mendengar dan mengetahui sesuatu, maka yang didengar dan diketahuinya semata adalah Firman Allah swt. Saat ia mengetahui sesuatu, maka ia mendapati pengetahuannya itu adalah pengetahuan Allah swt, Ia akan diberikan Karunia Allah swt. Maka jadilah ia hamba yang beruntung dekat dengan Allah swt, Ia menjadi hamba bertabiat indah dihiasi dan dimuliakan, Ia Ridlo kepada Allah swt, dan bertambah dekatlah ia dengan Allah swt, serta bertambahlah cintanya kepada Allah swt, semakin Khusu' ia berdzikir mengingat Allah swt, dan bersemayamlah ia disisi Allah swt, kemudian Allah swt membimbingnya dan menghiasinya dengan cahaya Ilmu Allah swt, sehingga tersingkaplah tabir yang menghalanginya dari rahasia-rahasia Allah swt yang Maha Agung, ia hanya mendengar dan mengingat Allah swt serta tiada sesuatupun hal-hal duniawi yang mampu memalingkannya dari Allah swt yang Maha Tinggi, kemudian ia menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan mengingat Allah swt."

Jumat, 31 Mei 2019

Catatan Sang Pohon Kehidupan.




Catatan Sang Pohon Kehidupan.

Oleh : donnieluthfiyy

Silsilah Nasab menurut saya bisa amat penting, sebab bagaimana kita akan menemukan jati diri kita jika kita sendiri tidak mengetahui asal-usul kita, apalagi bagi Pribadi saya yang tidak pernah menemukan dan merasakan kasih sayang Sosok seorang Kakek maupun Nenek dari Jalur Ayah dikarenakan mereka telah Wafat semenjak Ayah saya juga masih seorang Bocah kecil berumur 2 – 6 tahun, dan saya sendiri bisa dikatakan masih diantara rupa Tanah dan Air. Berawal dari Rasa penasaran yang muncul untuk mengetahui Silsilah Nasab keluarga yaitu sejak beberapa waktu menjelang Wafat Ayahanda tercinta, karena Ayahanda pernah menceritakan tentang kisah Ayah-Ibunya yang meninggalkannya dalam keadaan Yatim Piatu sejak usia kecil, beberapa kali beliau meneteskan Air Matanya ketika menceritakan Ibunda tercintanya yang bernama Maryati, bahkan sesekali dalam Tidur dikala sakitnya Ayahanda mengigau memanggil-manggil Ibundanya tersebut.

Sumber awal yang menjadi informasi berkenaan Silsilah keluarga saya adalah dari Ayah saya sendiri yang bernama lengkap Muhammad Nurhadi Bin Marwi (1942 – 2000 M), ketika mendekati akhir-akhir Hidupnya beliau menceritakan bahwa saya ini adalah seorang Cucu dari seorang Tokoh Kyai bernama Kyai Marwi Bin KH Fulan (Saya Lupa saat ayah saya menyebutkannya dulu) Bin Citro Yudho. Saat mendengar cerita itu saya belum begitu tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Silsilah keluarga saya itu. Kemudian setelah berjalan beberapa tahun barulah muncul rasa penasaran pada diri saya untuk mencoba menelusuri jejak silsilah keluarga saya tersebut, dimulai dengan bertanya kepada Kakak-kakak saya yang dekat, namun Informasi yang saya dapatkan hanya seputaran kisah-kisah tentang Kakek dan Ayah saya yang juga banyak tersebar di kampung Kelahiran Ayah saya, termasuk kisah-kisah kesaktian kakek saya yang konon katanya sangat ditakuti oleh seorang Wanita Siluman Sakti yang terkenal dengan nama Mbok Lanjar, namun saya mencoba untuk tetap dengan cara pandang realistis dan membuat kesimpulan sendiri tentang Wanita yang di maksud itu, yang menurut saya Ia adalah masih sebangsa manusia namun memiliki kesaktian, semacam Dukun Hitam, namun mohon maaf untuk kisah-kisah tersebut tidak saya ceritakan dalam Catatan ini.

Kemudian pada sekitar Tahun 2014 saya berkunjung ke Kampung kelahiran Ayah saya di Dusun Senet Desa Purwosari Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung Jawa Tengah, selama 2 hari di sana saya manfaatkan waktu untuk bertanya-tanya tentang kakek saya, saat saya bertemu dengan saudara saya, yang sekarang beliau-lah yang paling dituakan dalam urutan keluarga, dan  beliau merupakan Putra dari Kakak Ayah saya (Pakde), di sana saya mendapat Informasi bahwa Kakek saya memiliki Istri 3, Istri pertamanya bernama Mbah Nyai Siti Mu’isah yang memiliki seorng Putra bernama Wahid Bin Marwi (Pakde Saya), kemudian Istri keduanya bernama Mbah Nyai Maryati yang memiliki seorang Putra bernama Wahidun Bin Marwi (Nama Ayah saya waktu kecil), saya tidak tahu kapan nama tersebut di rubah oleh ayah saya Menjadi Muhammad Nurhadi, dan tidak tahu juga apa alasannya, yang saya bisa ambil kesimpulan mungkin karena Anak-anak Kakek saya diberinama dengan menggunakan kata Wahid semua., dan dari Istri ketiganya (Saya belum mendapatkan Informasi namanya) terlahir juga seorang putera yang konon katanya diberinama Wahidin, saya teringat kepada suatu kenangan bahwa Ayah saya pernah mencari-cari keberadaan Adiknya tersebut sampai menemukannya di Kota Malang Jawa Timur, Ayah saya sempat berfoto bersama Adiknya tersebut, dan kayanya memiliki Anak yang sedang bersekolah di SMK Pelayaran di Malang, saat itu saya masih kecil jadi tidak terlalu serius menanggapinya.

Masih dari Informasi yang saya dapatkan dari Kakak Sepupu saya tersebut, beliau bercerita bahwasannya Kakek saya (Mbah Kyai Marwi) dulu Mondok (Pesantren) di Tebuireng Jombang saat masih di asuh oleh Hadlrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), dan kakek saya itu berguru langsung kepada Beliau katanya, saat Mondok di tebuireng kakek saya telah menjadi seorang anak Yatim, yang beberapa tahun kemudian saya baru mendapatkan Informasi bahwasannya Ayah dari Kakek saya itu (Buyut saya) Wafat di Mekah saat menunaikan Haji, dan beliau konon katanya adalah seorang Hafidz Qur’an, Informasi tentang Buyut saya ini sangat minim sekali yang bisa digali.

Setelah kakek saya Dewasa dan telah selesai mengantongi Ilmu dari belajarnya di Pesantren Tebuireng Jombang, maka sudah saatnya kakek saya mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, dari Cerita Putera tertua Pakde saya itu, beliau bercerita bahwasannya ketika Kakek saya datang ke Dusun Senet, di Dusun tersebut sudah berkembang Ajaran dari Hadlrotus Syaikh Mbah KH Ahmad Rifa’i (Pendiri Rifa’iyyah, Seorang Pahlawan Nasional), suatu ketika dalam Dakwahnya, kakek saya itu jatuh cinta kepada seorang Kembang Desa Puteri dari seorang Ulama Rifa’iyyah di desa tersebut, maka kakek saya memberanikan diri untuk melamarnya, namun saat melamar kakek saya malah diberi Tugas terlebih dahulu agar mau mempelajarai Ajaran Rifa’iyyah, karena sejatinya antara Ajaran NU maupun Rifa’iyyah memiliki persamaan yang kuat, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada perbedaan diantara keduanya, sehingga bagi Kakek saya mudah saja menyanggupinya, dan kemudian setelah selesai mempelajarai berbagai Kitab Karangan Mbah KH Ahmad Rifa’i dinikahkanlah Kakek saya tersebut dengan Wanita bernama Nyai Siti Mu’isah dan berdakwah disana menyampaikan Ajaran Ahlu Sunah Wal Jama’ah yang didapatkannya dari Hadlrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan Hadlrotus Syaikh KH Ahmad Rifa’i (Pendiri Rifa’iyyah).

Benang merah dari semua misteri ini mungkin akan bisa terjawab jika saja yang konon Katanya (menurut cerita Ayah saya dan beberapa Kerabat sepuh) bahwa Mbah Citro Yudho (Ayah Buyut saya) itu adalah seorang Punggawa (Sekarang Paspampres) kerajaan Mataram, dan jika di runut entah itu pada masa berkuasa Sultan Hamengku Buwono V, VI atau VII, mungkin akan ada catatan tentangnya di Keraton, hanya saja bagaimana cara mengaksesnya, mengingat itu adalah Dokumen penting kerajaan. Yang terpenting adalah terus mencari dan biar Allah swt yang menuntunnya, dan agar anak keturunannya nanti tidak Kepaten Obor.

Sekian, Terimakasih

Karawang, Jum’at 31 Mei 2019.

Senin, 27 Mei 2019

Fiqih Zakat Fitrah



Fiqih Zakat Fitrah

Oleh : donnieluthfiyy

Disebutkan dengan Lafadz Zakat Fitrah karena diwajibkan kepada Manusia di Hari Raya Idul Fitri setelah Puasa Ramadhan, dan dinamakan “Fitrah” bermakna asal dari Fitrah Manusia, kemudian dinamakan Juga “Zakat Badan”, seperti halnya disabdakan dalam Hadits Nabi saw :

Rasulullah saw bersabda :

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنْ الرَّفَثِ وَطُعْمَةٌ للفقراء والمَسَاكِينِ
“Zakat Fitrah membersihkan/ mensucikan orang yang berpuasa dari Kotoran, Dan Memberi makan kepada orang-orang Faqir dan Miskin”.

Zakat Fitrah juga sebagai Penambal ketidak - sempurnaan Puasa.

Rasulullah saw bersabda :

زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ
“Zakat Fitrah di Bulan Ramadhan layaknya Sujud Sahwi dalam Shalat, Menambal kekurangan Puasa sebagaimana Sujud Sahwi menambal kekurangan Shalat”.

  • Hukum Zakat Fitrah Wajib menurut Ijma’

  • Adapun Waktu-waktu mengeluarkan Zakat Fitrah ada 5 :
1.       Waktu Wajib,
Yakni dengan menemukan Sebagian Ramadhan dan sebagian Syawal. Sekiranya keberadaan seseorang masih ada pada saat Terbenamnya Matahari dimalam Idul Fitri, Maka tidaklah wajib bagi seseorang yang menemukan sebagiannya saja (Sebagian Ramadhan atau Syawal), misalnya orang yang Wafat sebelum terbenam matahari Akhir Ramadhan, atau Bayi yang lahir setelah terbenamnya Matahari Akhir Ramadhan. Begitupun halnya Kewajiban Zakat Fitrah dengan sebab Nafkah, maka tidaklah wajib bagi seorang suami Menzakati Fitrah Istrinya yang baru dinikahi setelah terbenamnya Matahari Akhir Ramadhan, Atau semisal Seorang Ayah menzakati Fitrah anaknya yang baru masuk Islam Setelah terbenamnya Matahari Akhir Ramadhan. Serta tidak gugur kewajiban Menzakati Fitrah Istri yang baru di talaqnya setelah terbenam Matahari Akhir Ramadhan walaupun Talaq Ba-in.

2.       Waktu Utama,
Yakni Hari Raya Idul Fitri setelah terbitnya Fajar sebelum Shalat Idul Fitri, dan lebih Utama lagi setelah melaksanakan Shalat Fajar.

3.       Waktu Jawaz/Mubah,
Yakni dari semenjak Awal Ramadhan.

4.       Waktu Makruh,
Yakni dengan mengakhirkannya dari saat melaksanakan Shalat Idul Fitri sampai dengan terbenamnya Matahari, Kecuali jika untuk hal yang lebih Mashlahat seperti menanti kedatangan Kerabat atau orang Faqir yang Soleh.

5.       Waktu Haram,
Yakni mengakhirkannya atau melewati dari Hari Raya Idul Fitri, kecuali ada Udzur maka diperbolehkan, maka jadilah Zakat Fitrahnya itu sebagai Qodho dan tidak berdosa, Udzur tersebut seperti halnya belum hadir Hartanya, atau tidak/belum menemukan Mustahiq.

  • Syarat Wajib mengeluarkan Zakat Fitrah adalah jika masih memiliki kelebihan dari perkara yang dibutuhkannya dari beberapa hal yang dirinci berikut ini :
  1. Makanan Pokok, untuk dirinya dan untuk orang-orang yang diwajibkan Nafkah atasnya.
  2. Hutang, walaupun ditangguhkan.
  3. Pembantu dan Tempat Tinggal yang pantas.
Maka apabila seseorang tidak memiliki Kelebihan untuk Hari Raya Idul Fitri dan Malam harinya dari apa-apa yang dibutuhkannya dari salah satu 3 perkara diatas , maka tidak Wajib lagi Zakat Fitrah baginya.

Wajibnya Zakat adalah satu Sho’ bagi setiap orang, 1 Sho’ = 4 Mud (Takaran Mud Nabi saw), yang disetarakan Kurang lebih dengan 2,75 Kg (Sebagain pendapat mengatakan kurang lebih setara dengan 3 Kg), maka yang lebih utama adalah Ihtiyath.

  • Kaidah : Setiap orang yang menjadi tanggungan Nafkah atasnya, maka wajib pula mengeluarkan Zakat Fitrahnya. Pengecualian adalah Istri dari Bapaknya (Ibu Tiri) Yang sama-sama sudah tidak memiliki penghasilan, maka Nafkahnya menjadi tanggungan Anaknya karena terikat oleh Bapaknya, namun bagi Istri Bapaknya tersebut hanya Wajib dalam hal memberi nafkah tetapi tidak wajib mengeluarkan Zakat Fitrahnya. Seperti halnya juga Hamba sahaya, Kerabat dan Istri yang kesemuanya Kafir.
Jikalau Suami mengalami Pailit (Bangkrut) dan tidak mampu menzakati Istrinya, maka tidak wajib lagi atas suaminya tersebut dan tidak wajib pula bagi Istrinya itu mengeluarkan Zakat fitrahnya sendiri, akan tetapi di sunahkan jika ingin mengeluarkan Zakatnya.

  • Masalah : Tidak Diperbolehkan seorang Ayah menzakati Anaknya yang telah dewasa (Mampu mencari Nafkahnya sendiri) yang menjadikan Ayahnya tidak lagi wajib menafkahinya, Kecuali dengan meminta Izinya terlebih dahulu kepada anaknya tersebut  untuk mengeluarkan Zakat Fitrahnya. Adapun seorang anak yang belum dewasa (Belum mampu mencari Nafkah sendiri) baik Laki-laki ataupun perempuan, juga atas seorang Istri dan semua orang yang menjadi Tanggungan Nafkah, maka tidak perlu Izinnya lagi untuk mengeluarkan Zakat Fitrahnya.

  • Permasalahan Niat didalam Zakat.
-          Hukum Niat dalam menunaikan Zakat adalah Wajib, karena untuk membedakan antara Zakat dengan Sedekah yang bersifat Sunah.

-          Sighat Niat Zakat Fitrah, Yang paling sederhana adalah Ucapan :

هذه زَكَاةُ فِطْرِي
“Ini Adalah Zakat Fitrahku”, Atau Ucapan ;

هذه فَرْضُ صَدَقَةِ فِطْرِي
“Ini adalah Fardlu Sedekah Fitrahku”.

Adapun Shighat Niat Zakat Fitrah secara lengkap adalah sebagai berikut :
ü  Niat zakat untuk diri sendiri :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ نَفْسِي فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“Saya niat mengeluarkan zakat untuk diriku  suatu kewajiban karena Allah Ta’ala “

ü  Niat atas nama anaknya yang masih kecil :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي الصَّغِيْرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang masih kecil suatu kewajiban karena Allah Ta’ala”

ü  Niat atas nama ayahnya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ اَبِي فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ayahku suatu kewajiban karena Allah Ta’ala”

ü  Niat atas nama ibunya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَن اُمِّي فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ibuku suatu kewajiban karena Allah Ta’ala”

ü  Niat atas nama anaknya yang sudah besar dan tidak mampu :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي اْلكَبِيْرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang sudah besar suatu kewajiban karena Allah Ta’ala”

ü  Niat atas nama diri sendiri dan keluarga (Orang yang ditanggung nafkahnya) :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنّي وَعَنْ جَمِيْعِ مَنْ يَلزَمُنِيْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya dan untuk semua orang yang nafkahnya menjadi tanggungan saya menurut syariat agama suatu kewajiban karena Allah Ta’ala …”

-          Waktu Mengucapkan Niatnya adalah saat Penyerahan kepada Faqir-Miskin atau kepada Wakil, Atau dengan Menguasakan Niat kepada Wakil.
Diperbolehkan mendahulukan Niat sebelum menyerahkan kepada Faqir-Miskin atau Wakil, dengan Syarat : Jika Zakat Fitrahnya telah disisihkan (Dipisahkan), maksudnya harta yang akan di Zakatkan sudah dipisah dari Harta lainnya.

Sumber :
-          Kitab Att Taqrirotus Syadidah.
-          I’anatut Thalibin
-          Al Yaqutun Nafiis


Senin, 04 Maret 2019

Bagaimanakah Sikap seorang Muslim kepada Kafir Dzimmi



Bagaimanakah Sikap seorang Muslim kepada Kafir Dzimmi

Oleh Donnieluthfiyy.
Karawang, 01/03/2019

Sebelum Membahas berkenaan bagaimana Sikap seorang muslim kepada Kafir Dzimmi, maka sangat perlu untuk memahami Definisi Kafir Dzimmi tersebut.

Yang pertama Definisi Kafir Dzimmi menurut Kamus Al Wasith Juz 1 Halaman 315 adalah ;
Sesugguhnya Dzimmi adalah ikatan kesepakatan dalam perjanjian yang memberikan rasa aman terhadap Harta, Tubuh, dan Agama, yaitu seseorang yang diberikan rasa aman yang tertuang dalam Syarat di dalam piagam perjanjian dengan persyaratan membayar Pajak Jizyah. Atau bisa juga di artikan sebagai Orang kafir yang lahir dan menetap dalam Negara Islam, maksudnya adalah Ia menjadikannya sebagai Tanah Air kelahirannya – dengan kewajiban membayar Pajak Jizyah dan mengikuti Hukum Islam, karena Ia adalah Non muslim yang menjadi Rakyat dalam Negara Islam. Dan Definisi lainnya yaitu Seseorang Kafir Dzimmi yang berada diantara kita, maksudnya adalah dengan adanya Suatu kesepakatan untuk tinggal menetap di Negara kita dengan jaminan keamanan serta mau membayar Pajak Jizyah.

Imam Qaunawi berkata : Dzimmi yaitu kesepakatan, karena sesungguhnya dalam kesepakatanya tersebut menyebabkan wajibnya mendapat Jaminan juga pernyataan keamanan dan tanggungan, serta dalam setiap perkara tersebut menjadikan kedekatan satu sama lain, dan dari sebagian perkara tersebut juga dikatakan kepada para pembuat perjanjian dari orang-orang kafir Dzimmi,bahwa sesungguhnya mereka mendapatkan keamanan atas hartanya, jiwanya itu dengan membayar Pajak Jizyah. [Anisu Fuqaha Juz 1 Hal. 182].

Kesimpulannya adalah bahwasannya Kafir Dzimmi yaitu orang selain Muslim yang tinggal dan menetap bersama kita sebagai Rakyat suatu Negara, yang sama-sama mengikuti aturan yang ada dan sama-sama pula membayar Pajak kepada Negara. Dan mereka mendapatkan Hak yang sama dalam perlindungan terhadap Harta, Nyawa dan jaminan keselamatannya.

Rasulullah saw bersabda :

«مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“ Siapa orangnya yang memerangi/memusuhi orang Kafir yang mengadakan kesepakatan (Kafir Dzimmi), Maka ia tidak akan mencium Aroma Surga, dan sesungguhnya Aroma surga itu bisa tercium sejauh jarak perjalanan 40 tahun”. [HR. Bukhari : 3166].

Dan dalam Riwayat Imam Nasai, Rasulullah saw bersabda :

«مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“Siapa orangnnya yang memerangi/ memusuhi dengan satu peperangan/permusuhan kepada Orang Kafir Dzimmi, maka ia tidak akan menemukan Aroma Surga, dan sesungguhnya Aromanya tersebut dapat tercium sejauh jarak perjalanan 40 Tahun”.

Hadit tersebut menunjukan peringatan keras bagi orang yang memerangi/ memusuhi Orang Kafir Dzimmi (Ahlu Dzimmah).

Baginda Nabi Muhammad saw telah berwasiat berkenaan dengan hubungan bertetangga, dan agar berbuat baik kepada mereka, baik tetangganya itu seorang Yahudi, Ataupun Nasrani dan lainnya,
Rasulullah saw bersabda :

«مَا زَالَ جبريلُ يُوصِيني بالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّه سَيُورِّثُه».
“Terus menerus (Malaikat) Jibril turun memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga, sehingga aku menyangka bahwasannya Ia akan mewariskannya”.

Kalimat Tetangga ( Al Jaar) dalam hadits tersebut bersifat umum, tidak hanya kepada tetangga Muslim, tetapi juga tetangga Non Muslim, Imam Bukhari dan Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Kitab Adab Al Mufrod, dari Mujahid, ia berkata “ Aku berada bersama Abdullah Bin Umar, sedang anaknya yang sudah dewasa sedang menguliti seekor Kambing, kemudian Abdullah bin Umar berkata : Nak.. jika engkau telah selesai (Menguliti Kambing) maka mulailah dengan Kambing tetangga Yahudi kita..., maka berkatalah seorang lelaki dari kaumnya : Wahai Orang Yahudi, Adakah Allah swt berbuat baik kepadamu ?, maka Yahudi tersebut berkata : Aku mendengar Rasulullah saw berwasiat tentang tetangga, sehingga kami khawatir dan berpikir bahwa sesungguhnya Beliau akan mewariskannya”.

Imam Al Hafidz Ibnu Hajjar ra Dalam Kitab Fathul Bari berkata :

وَاسْمُ الجَار يَشْمَل المسْلِمَ وَالْكَافِرَ، وَالعَابِدَ وَالْفَاسِقَ، وَالصَّدِيقَ وَالْعَدُوَّ، وَالْغَرِيب وَالْبَلَدِيَّ، وَالنَّافِع وَالضَّارَّ، وَالْقَرِيبَ وَالأَجْنَبِيَّ، وَالْأَقْرَب دَارًا وَالْأَبْعَدَ، وَلَهُ مَرَاتِب بَعْضهَا أعلى من بعض، فَأَعْلَاهَا مَنْ اجتَمعَتْ فِيهِ الصِّفَات الْأُوَل كُلّهَا ثُمَّ أَكْثَرهَا وَهَلُمَّ جَرًّا إِلى الوَاحِد، وَعَكْسه مَن اجْتَمَعَتْ فيه الصِّفَات الأخْرَى كَذَلِكَ، فَيُعْطى كُلٌّ حَقه بِحَسَبِ حَاله، وَقَدْ تَتَعَارَض صفتان فأكثر فَيُرَجِّح أو يُسَاوِي
Nama dari Kata Tetangga mencakup Orang Muslim kemudian orang Kafir, Orang ahli Ibadah kemudian Orang Fasiq (Ahli Maksiat), Teman kemudian Musuh, Orang Asing kemudian Orang Pribumi, yang memberi manfaat kemudian yang memberi madhorot, Kerabat kemudian orang lain, yang rumahnya dekat kemudian yang jauh. dan urut-urutan tersebut satu dengan lainnya berbeda urutan tingkatannya, Maka tingkatan yang lebih tinggi (Dalam urutan bertetangga) adalah orang yang terkumpul didalamnya sifat-sifat yang awal dari semuanya, kemudian yang lebih kuat dan seterusnya. Adapun sebaliknya yaitu orang yang terkumpul sifat-sifat selainnya tersebut, Maka berikanlah haknya dengan pertimbangan keadaannya, dan sungguh saling berlawanan dua sifat tersebut dan yang lebih kuat lagi, maka saling dikuatkan-lah atau saling disetarakan-lah. [Fathul Bari Juz 10 Hal. 456].

Oleh sebab itu termasuk Akhlak Nabi saw terhadap Kafir Dzimmi adalah dengan banyak mendo’akan agar mendapatkan Hidayah, dan tida pernah melaknatnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata : dikatakan (Kepada Nabi saw) : Wahai Rasulullah!, Do’akanlah keburukan bagi orang-orang Musyrik (Kafir Quraisy), kemudian Rasulullah saw bersabda : 

«إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً»
“Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai Pelaknat, dan bahwasannya aku diutus sebagai Rahmat”.

Dan Rasulullah saw juga melarang berkata “ Wahai Kafir...!” kepada saudara, sedangkan Tetangga merupakan Saudara terdekat kita.

آنما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما آن كان كما قال وآلا رجعت عليه
“Siapa saja yang berkata kepada Saudaranya (Dengan Ucapan) : Hai Kafir…!, Maka akan kembali kepada salah satunya, jika sesuai dengan Tuduhannya, jika tidak maka akan kembali kepada orang yang mengucapkannya”.

Kemudian menurut Pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah melarang melaknat Orang Kafir ketika masih Hidup, karena tidak diketahuinya apakah Ia akan Mati dalam keadaan Kafir atau Mati dalam keadaan Husnul Khatimah sebagai seorang Muslim nantinya.

Wallahu A’lam… Semoga bermanfaat.s

Senin, 25 Februari 2019

Ilmu Dan Amal menuju Ibadah.



Ilmu Dan Amal menuju Ibadah.


Dalam beribadah tidak bisa sembarang mengamalkan, karena harus sesuai dengan cara-cara yang di Syari'atkan, perlu mengetahui terlebih dahulu perkara-perkara yang menjadikan Sah dan batalnya Ibadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أن الله يحب إذا عمل أحدكم عملاً أن يتقنه ( أخرجه البيهقي(

"Sesungguhnya Allah mencintai tatkala salah seorang diantara kalian melakukan suatu amalan ia menguasainya dengan baik" (HR. Baihaqiy).

disebutkan di dalam Kitab Matan Az Zubad Fi Ilmil Fiqhi Asy Syafi'i Karya Syeikh Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi’iy, beliau mengatakan:

وكل من بغير علم يعمل أعماله مردودة لا تقبل

"Dan setiap orang yang beramal tanpa ilmu, Amalan-amalannya tertolak tidak diterima".

Disinilah Peranan Ilmu sangat penting bagi berdirinya Ibadah, karena dengan Ilmu itulah Ibadah seseorang akan menjadi sah dan Insya Allah diterima.

Seseorang dikatakan telah wajib mengamalkan Syari'at adalah apabila ia telah Mukallaf.
Dalam Ushul Fiqh Imam Auza'i mendefinisikan Mukallaf dengan kalimat sbb :

المكلفين : الإنسان البالغ العاقل الذي بلغته الدعوة

"Mukallaf adalah orang yang baligh serta berakal dan sampai kepadanya Seruan Dakwah".

Yang artinya bahwa yang dituntut dari seorang Mukallaf adalah adanya pengetahuan terhadap apa yang akan diamalkannya.

Sedangkan Amal dituntut terhadap Ilmu, karena setelah seseorang mengetahui Ilmu tentang suatu Ibadah, maka baginya jadilah seorang Mukallaf yakni orang yang sudah terbebani beban kewajiban-kewajiban Syari'at. Berkenaan dengan Amal maka Allah swt berfirman dalam Surat Al Fatihah :
Allah SWT berfirman:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ 

"Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan".

Dalam ayat ini secara Implisit menunjukan bahwa suatu amal bisa dikatakan menjadi suatu Ibadah adalah dengan pertolongan Allah swt, disinilah kita perlu berusaha dengan kesungguhan serta menyerahkan diri sepenuhnya memohon pertolongan Allah swt agar dalam setiap Amal kita bisa menjadi sebuah Ibadah yang diterima dan diridloi-NYA. Apalagi dengan minimnya Ilmu yang kita miliki.
Kesimpulannya adalah bahwasannya Tahapan seseorang dalam Beribadah adalah dengan mengetahui Ilmunya Terlebih dahulu, barulah ia mengamalkannya yang bisa menjadikan wujud Ibadahnya kepada Allah swt, dan Ibadah tidak bisa berdiri kecuali dengan pertolongan Allah swt, pertolongan atas kebaikan dan kemanfaatan serta keberkahan dari Ibadahnya tersebut.
Allah berfirman.

اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ


“Allah memilih orang yang DIA kehendaki kepada Agama, dan memberi petunjuk kepada (Agama)-NYA bagi orang yang kembali (Kepada-NYA)”. (asy-Syuraa/42 : 13)


*> donnieluthfiyy, Karawang, 26/02/2019

Rabu, 09 Januari 2019

Hubungan Ilmu, Hati dan Dzikir



Jika Ilmu itu di ibaratkan Air, kemudian Bejana Air di ibaratkan sebagai Hati, sedangkan Pembersih Kerak pada Bejana air di Ibaratkan sebagai Dzikir, maka kita akan Tahu pentingnya Dzikir dalam Ruhani kita.

Oleh : donnieluthfiyy

Sebuah Bejana Air yang setiap hari di gunakan untuk menampung Air, walaupun Airnya itu adalah Air yang jernih dan bersih untuk kebutuhan minum, maka lama-kelamaan pada dinding-dinding bejana tersebut akan terdapat kerak yang menempel, terlihat kotor dan tidak higienis, sehingga menutupi dinding dalam bejana tersebut, dan membuat air tidak lagi bisa menyentuh dinding bejana tersebut karena tertutupi oleh kerak yang menempel, oleh sebab itu sangat penting agar Bejana tersebut selalu terlihat bagus dan bersih untuk selalu membersihkannya dengan Pembersih kerak-kerak yang ada pada bejana tersebut.

Begitupun Hati sebagai Wadah Ilmu dan tempat bersemayamnya Iman serta masuknya Hidayah, Jika hati terus di isi Ilmu yang asalnya bisa dari mana saja, serta niat dan tujuannya yang beraneka ragam, maka lama-kelamaan Ilmu-ilmu yang asalnya dari hal yang tidak baik atau Niat dan tujuannya yang salah akan menjadikan kerak yang menyelubungi Hati, sehingga menutupi hati dari Bashiroh, Musyahadah dan Nur Kebenaran Ilahi, akan menjadi Sulit untuk membedakan perkara Haq dan Bathil dengan ilmunya, karena hatinya tidak mampu menembus Hidayah Ilahi, oleh sebab itu mendawamkan Dzikir sangat penting untuk menghilangkan kerak-kerak yang menutupi hati dari Nur Hidayah, bashiroh dan Musyahadah. Dzikir yang di pandu oleh seorang Ahli Dzikri, Dzikir yang memiliki mata rantai yang saling mengikat, Dzikir yang Tidak terputus saling memantul dari cermin ke cermin, yaitu Dzikir di dalam Thoriqoh.

Ketahuilah dalam Rukun Islam kesemua Rukun memiliki kesunahannya masing-masing, Haji dengan kesunahan Umrahnya, Puasa dengan kesunahan puasanya, Zakat dengan kesunahan Infaq Sedekahnya dan Shalat dengan kesunahan Shalatnya, lalu apakah kesunahan Rukun Islam yang pertama yaitu Dua Kalimah Syahadat, yang didalam Lafadznya mengandung kesaksian kepada Allah swt sebagai Ilah dan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul-NYA, sebuah kesaksian akan lebih mengikat ketika banyak-banyak menyebutnya, maka Kesunahan Lafadz Syahadat yang pertama adalah Dzikrullah, sedangkan Kesunahan pada Lafadz Syahadat yang kedua adalah Sholawat kepada Nabi. Oleh sebab itu jika di urutkan secara tertib menurut urutan Rukun Islam, maka Dzikrullah dan Sholawat kepada Nabi merupakan urutan kesunahan yang pertama dan sangat penting sebagai Pondasi dasar dari semua Amal Ibadah kita.

Wallahu A’lam Bis Showab.... semoga bermanfaat.
Karawang, 10 Januari 2019.

donnieluthfiyy

List Video