Bagaimanakah Sikap seorang Muslim kepada Kafir
Dzimmi
Oleh Donnieluthfiyy.
Karawang, 01/03/2019
Sebelum Membahas berkenaan
bagaimana Sikap seorang muslim kepada Kafir Dzimmi, maka sangat perlu untuk
memahami Definisi Kafir Dzimmi tersebut.
Yang pertama Definisi Kafir
Dzimmi menurut Kamus Al Wasith Juz 1 Halaman 315 adalah ;
Sesugguhnya Dzimmi adalah ikatan
kesepakatan dalam perjanjian yang memberikan rasa aman terhadap Harta, Tubuh,
dan Agama, yaitu seseorang yang diberikan rasa aman yang tertuang dalam Syarat
di dalam piagam perjanjian dengan persyaratan membayar Pajak Jizyah. Atau bisa
juga di artikan sebagai Orang kafir yang lahir dan menetap dalam Negara Islam,
maksudnya adalah Ia menjadikannya sebagai Tanah Air kelahirannya – dengan
kewajiban membayar Pajak Jizyah dan mengikuti Hukum Islam, karena Ia adalah Non
muslim yang menjadi Rakyat dalam Negara Islam. Dan Definisi lainnya yaitu
Seseorang Kafir Dzimmi yang berada diantara kita, maksudnya adalah dengan
adanya Suatu kesepakatan untuk tinggal menetap di Negara kita dengan jaminan
keamanan serta mau membayar Pajak Jizyah.
Imam Qaunawi berkata : Dzimmi
yaitu kesepakatan, karena sesungguhnya dalam kesepakatanya tersebut menyebabkan
wajibnya mendapat Jaminan juga pernyataan keamanan dan tanggungan, serta dalam
setiap perkara tersebut menjadikan kedekatan satu sama lain, dan dari sebagian
perkara tersebut juga dikatakan kepada para pembuat perjanjian dari orang-orang
kafir Dzimmi,bahwa sesungguhnya mereka mendapatkan keamanan atas hartanya,
jiwanya itu dengan membayar Pajak Jizyah. [Anisu Fuqaha Juz 1 Hal. 182].
Kesimpulannya adalah bahwasannya
Kafir Dzimmi yaitu orang selain Muslim yang tinggal dan menetap bersama kita
sebagai Rakyat suatu Negara, yang sama-sama mengikuti aturan yang ada dan
sama-sama pula membayar Pajak kepada Negara. Dan mereka mendapatkan Hak yang
sama dalam perlindungan terhadap Harta, Nyawa dan jaminan keselamatannya.
Rasulullah saw bersabda :
«مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ
رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“ Siapa orangnya yang
memerangi/memusuhi orang Kafir yang mengadakan kesepakatan (Kafir Dzimmi), Maka
ia tidak akan mencium Aroma Surga, dan sesungguhnya Aroma surga itu bisa
tercium sejauh jarak perjalanan 40 tahun”. [HR. Bukhari : 3166].
Dan dalam Riwayat Imam Nasai,
Rasulullah saw bersabda :
«مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ
يَجِدْ رِيحَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا»
“Siapa orangnnya yang
memerangi/ memusuhi dengan satu peperangan/permusuhan kepada Orang Kafir
Dzimmi, maka ia tidak akan menemukan Aroma Surga, dan sesungguhnya Aromanya
tersebut dapat tercium sejauh jarak perjalanan 40 Tahun”.
Hadit tersebut menunjukan
peringatan keras bagi orang yang memerangi/ memusuhi Orang Kafir Dzimmi (Ahlu
Dzimmah).
Baginda Nabi Muhammad saw telah
berwasiat berkenaan dengan hubungan bertetangga, dan agar berbuat baik kepada
mereka, baik tetangganya itu seorang Yahudi, Ataupun Nasrani dan lainnya,
Rasulullah saw bersabda :
«مَا زَالَ جبريلُ يُوصِيني بالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّه سَيُورِّثُه».
“Terus menerus (Malaikat)
Jibril turun memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga, sehingga aku
menyangka bahwasannya Ia akan mewariskannya”.
Kalimat Tetangga ( Al Jaar) dalam
hadits tersebut bersifat umum, tidak hanya kepada tetangga Muslim, tetapi juga
tetangga Non Muslim, Imam Bukhari dan Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Kitab
Adab Al Mufrod, dari Mujahid, ia berkata “ Aku berada bersama Abdullah Bin
Umar, sedang anaknya yang sudah dewasa sedang menguliti seekor Kambing,
kemudian Abdullah bin Umar berkata : Nak.. jika engkau telah selesai (Menguliti
Kambing) maka mulailah dengan Kambing tetangga Yahudi kita..., maka berkatalah
seorang lelaki dari kaumnya : Wahai Orang Yahudi, Adakah Allah swt berbuat baik
kepadamu ?, maka Yahudi tersebut berkata : Aku mendengar Rasulullah saw
berwasiat tentang tetangga, sehingga kami khawatir dan berpikir bahwa
sesungguhnya Beliau akan mewariskannya”.
Imam Al Hafidz Ibnu Hajjar ra Dalam
Kitab Fathul Bari berkata :
وَاسْمُ
الجَار يَشْمَل المسْلِمَ وَالْكَافِرَ، وَالعَابِدَ وَالْفَاسِقَ، وَالصَّدِيقَ وَالْعَدُوَّ،
وَالْغَرِيب وَالْبَلَدِيَّ، وَالنَّافِع وَالضَّارَّ، وَالْقَرِيبَ وَالأَجْنَبِيَّ،
وَالْأَقْرَب دَارًا وَالْأَبْعَدَ، وَلَهُ مَرَاتِب بَعْضهَا أعلى من بعض، فَأَعْلَاهَا
مَنْ اجتَمعَتْ فِيهِ الصِّفَات الْأُوَل كُلّهَا ثُمَّ أَكْثَرهَا وَهَلُمَّ جَرًّا
إِلى الوَاحِد، وَعَكْسه مَن اجْتَمَعَتْ فيه الصِّفَات الأخْرَى كَذَلِكَ، فَيُعْطى
كُلٌّ حَقه بِحَسَبِ حَاله، وَقَدْ تَتَعَارَض صفتان فأكثر فَيُرَجِّح أو يُسَاوِي
Nama dari Kata Tetangga
mencakup Orang Muslim kemudian orang Kafir, Orang ahli Ibadah kemudian Orang
Fasiq (Ahli Maksiat), Teman kemudian Musuh, Orang Asing kemudian Orang Pribumi,
yang memberi manfaat kemudian yang memberi madhorot, Kerabat kemudian orang
lain, yang rumahnya dekat kemudian yang jauh. dan urut-urutan tersebut satu
dengan lainnya berbeda urutan tingkatannya, Maka tingkatan yang lebih tinggi
(Dalam urutan bertetangga) adalah orang yang terkumpul didalamnya sifat-sifat
yang awal dari semuanya, kemudian yang lebih kuat dan seterusnya. Adapun
sebaliknya yaitu orang yang terkumpul sifat-sifat selainnya tersebut, Maka
berikanlah haknya dengan pertimbangan keadaannya, dan sungguh saling berlawanan
dua sifat tersebut dan yang lebih kuat lagi, maka saling dikuatkan-lah atau
saling disetarakan-lah. [Fathul Bari Juz 10 Hal. 456].
Oleh sebab itu termasuk Akhlak
Nabi saw terhadap Kafir Dzimmi adalah dengan banyak mendo’akan agar mendapatkan
Hidayah, dan tida pernah melaknatnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra, beliau berkata : dikatakan (Kepada Nabi saw) : Wahai Rasulullah!,
Do’akanlah keburukan bagi orang-orang Musyrik (Kafir Quraisy), kemudian
Rasulullah saw bersabda :
«إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً»
“Sesungguhnya aku tidak diutus
sebagai Pelaknat, dan bahwasannya aku diutus sebagai Rahmat”.
Dan Rasulullah saw juga melarang
berkata “ Wahai Kafir...!” kepada saudara, sedangkan Tetangga merupakan Saudara
terdekat kita.
آنما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما آن كان
كما قال وآلا رجعت عليه
“Siapa saja yang berkata kepada Saudaranya
(Dengan Ucapan) : Hai Kafir…!, Maka akan kembali kepada salah satunya, jika
sesuai dengan Tuduhannya, jika tidak maka akan kembali kepada orang yang
mengucapkannya”.
Kemudian menurut Pendapat Madzhab Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah melarang melaknat Orang Kafir ketika masih Hidup,
karena tidak diketahuinya apakah Ia akan Mati dalam keadaan Kafir atau Mati
dalam keadaan Husnul Khatimah sebagai seorang Muslim nantinya.
Wallahu A’lam… Semoga bermanfaat.s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dengan santun dan bersahaja, tidak boleh caci maki atau hujatan, gunakan argumen yang cerdas dan ilmiah