Ditetapkan dari Nabi saw,
sesungguhnya beliau bersabda : { Allah swt berfirman : Aku membagi sholat
antara aku dengan hambaku menjadi dua bagian, maka sebagiannya adalah untukku
dan sebagian lainnya untuk hambaku dan untuk apa yang diminta oleh hambaku,
berkatalah hambaku : Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, Allah swt
menjawab : Hamidani Abdi, berkata hambaku : Arrohmanur Rohiim,
Allah swt menjawab : Atsna ‘Alayya Abdii, Hambaku berkata : Maliki
Yaumid Diin, Allah swt menjawab : Majjadani Abdii, Hambaku
berkata : Iyyaka Na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah swt menjawab :
Fa Hadzihil Ayaatun Baini wa Baina Abdii wa li 'abdi maa sa-ala,
berkatalah hambaku : Ihdinash Shirotol Mustaqim Shirotol Ladzina An’amta
‘alaihim Ghoiril Maghdlubi ‘alaihim Wa Ladl Dloollin, Allah swt menjawab
: Fa Haaulaa-i Li’abdii wa li 'abdi maa sa-ala}.
Dan sungguh Allah swt telah
mengurus pembagian Al Qur’an diantara Allah swt dan hambanya dengan sifat
tersebut, Maka tidak ada sholat bagi seseorang
yang tidak membaca Surat Al Fatihah, dan ini adalah dalil yang kuat,
begitupun sesungguhnya telah di tetapkan dalam hadits shahih dari Rasulullah
saw – Sesungguhnya beliau bersabda {Tidak ada shalat bagi seseorang yang tidak
membaca surat Al Fatihah} dan ditetapkan darinya bahwa sesungguhnya beliau
bersabda : { siapa orangnya yang shalat tidak membaca surat Al Fatihah di
dalamnya, maka shalatnya itu menjadi kurang tiga, tidak sempurna}.
Kecurangan Asatidz Salafi
Wahabi dalam menggunakan Dalil sebagai Hujjah Aqidah/paham mereka.
Oleh : donnieluthfiyy
Setelah menyaksikan dan
memperhatikan Video yang di unggah di Youtube saat Debat masalah Tahlilan,
salah satu Ustadz Salafi-Wahabi mengutip sebuah teks dalam Kitab I’anatu
Thalibiin ( إعانة الطالبين
) untuk dijadikan Hujjah bagi pemahaman
Aqidah mereka yang membid’ahkan Tahlilan.
Teks yang dikutip tersebut adalah sbb ;
(نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع
الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها)
Terjemahan : “Ya benar, Apa yang
dilakukan manusia dari berkumpulnya mereka di rumah keluarga si Mayit, kemudian
(Keluarga si mayit) menghidangkan makanan (untuk mereka) adalah sebagian dari
Bid’ah yang Munkar yang diberikan pahala terhadap orang yang mencegahnya”.
(I’anatuth Thalibin, 2/165)
Memang secara jelas dalam kutipan tersebut
seakan-akan menggambarkan kebiasaan penduduk di Indonesia berkenaan dengan
tradisi Tahlilan, yakni ketika ada seorang yang meninggal Dunia kemudian
tetangga di undang oleh keluarga si Mayit untuk berkumpul mendo’akan si mayit
dan setelah itu mereka mendapatkan hidangan Cuma-Cuma yang disediakan oleh
keluarga si Mayit sebagai bentuk terimakasih atas berkenannya mereka memenuhi
undangan keluarga si Mayit.
Dalam hal ini mari kita garis bawahi terlebih
dahulu kalimat “ Undangan “, dan kalimat “ bentuk Terimakasih
“.
Ketika membahas suatu hukum dalam suatu permasalahan
dengan mengutip dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits, maka
kita memerlukan sebuah data dengan rumusan masalah yaitu : “Dalam hal apa dan
dalam keadaan bagaimana konteks Al Qur’an dan Hadits tersebut turun?”, Data ini
disebut dengan Asbabun Nuzul (Sebab-sebab turunnya Al Qur’an) dan Asbabul Wurud
(Sebab-sebab diungkapkannya Hadits), hal tersebut agar tidak sampai terjadi
suatu penetapan hukum yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Ayat ataupun
Haditsnya.
Ketika kita mengutip suatu perkataan Ulama
dalam sebuah Kitab, maka kitapun perlu menganalisa bagaimana konteks yang
sedang dibahasnya, apa sebab dari kemunculan suatu kalimat?, dan apa yang
sedang dibahas?, sehingga baru bisa disimpulkan ke arah hukum apa kutipan ini
di peruntukan.
Sekarang mari kita coba memahami bagaimana
sebenarnya Konteks yang menjadi penyebab pengarang kitab menyampaikan kalimat
yang dikutip oleh Asatidz Salafi-Wahabi tersebut.
Karena kutipan tersebut diawali dengan kata “Na’am”
yang artinya “Iya !”, menandakan ada sebuah pertanyaan yang disampaikan Pada
teks sebelum kutipan tersebut dalam Kitab I’anatu Thalibin, yang memberikan
bahasan seperti ini ;
Teks lengkapnya :
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل
الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام
دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص
إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام،
ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها
لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة
على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة
عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على
هذا المنع المذكور ؟
Terjemahnya : “Dan sungguh telah aku
perhatikan atas beberapa pertanyaan yang diangkat (ditanyakan) kepada para
Mufti Kota Mekah yang Mulia, didalam perkara perbuatan keluarga si mayit yang
menghidangkan makanan. Dan (Aku perhatikan pula) Jawaban mereka terhadap
pertanyaan tersebut. (Adapun penjelasan mengenai keduanya) yaitu sebagaimana pendapat
para Mufti yang mulia di Tanah Harom tersebut (Semoga Allah swt) senantiasa
memberikan kemanfa’atan kepada mereka untuk manusia sepanjang masa, Dalam hal
Kebiasaan (‘Urf) disuatu Negeri yang terjadi pada penduduknya, yakni bahwa
seseorang ketika meninggal dunia, dan kemudian datanglah para kenalannya serta
tetangga dekatnya berta’ziyah[**Tanpa di undang], maka sudah menjadi
kebiasaannya mereka yaitu dengan menunggu-nunggu [** duduk-duduk berdiam ] untuk
dihidangkannya makanan (oleh keluarga si Mayit), dan dikarenakan rasa malu yang
meliputi keluarga si Mayit, maka mereka (keluarga si mayit) membebani diri
mereka dengan beban yang sempurna, kemudian mereka (keluarga mayit) menyiapkan
kepada Para penta’ziyah makanan yang banyak, dan menghadirkan (Menghidangkan)
kepada mereka dengan kepayahan yang luar biasa. Maka apakah bila seorang Kepala
penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya
kepada keluarga si mayyit dengan mencegah permasalahan kebiasaan tersebut
secara keseluruhan agar mereka kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus,
yang Ma’tsur berasal dari sebaik-baiknya manusia dan kembali menuju ajaran
Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), sekiranya ia bersabda,
“sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala
atas yang disebutkan (Pencegahan/pelarangan itu) ?”.
Ada tiga permasalahan yang di bahas dalam
permasalahan diatas :
Kebiasaan berta’ziyah saat
mayit baru meninggal dunia hanya sekedar menampakan bela sungkawa tanpa
punya kepentingan yang bisa meringankan beban keluarga si mayit. Ini adalah
kebiasaan orang-orang Modern di kota-kota besar dan khususnya orang-orang
selain Muslim.
Sedangkan kebiasan Muslim di negeri kami
adalah para tetangga mendatangi keluarga si mayit saat baru meninggal dunia
kemudian kami membantu menyiap-nyiapkan untuk kebutuhan yang dibutuhkan oleh
keluarga si mayit (Dalam Proses penyelenggaraan Jenazah), bahkan di sebagian
daerah para wanita (ibu-ibu) datang dengan membawa berbagai jenis makanan dari
bentuk beras sampai gula dan bumbu masak.
Permasalahan yang dibahas
adalah bukan berkenaan dengan Tahlilan, tapi berkenaan dengan Ta’ziyah
saat mayit baru saja meninggal dunia, karena dalam teks tersebut jelas
bahwa mereka para penta’ziyah datang tanpa di undang oleh keluarga si
mayit dengan tujuan menampakan bela sungkawa tadi, sedangkan kebiasaan
yang terjadi di Indonesia berkenaan dengan Tahlilan adalah atas Undangan
keluarga si Mayit, baik dengan mengundang secara lisan maupun tulisan.
Berkenaan dengan hidangan
makanan dalam konteks permasalah tersebut adalah bahwa keluarga si mayit
merasa terbebani dengan kedatangan para penta’ziyah yang duduk-duduk
(Sekedar menunjukan bela sungkawa) yang kemudian keluarga si mayit
menyiapkan makanan yang banyak karena merasa tidak nyaman jika para penta’ziyah
tersebut di hiraukan begitu saja.
Berbeda dengan Tradisi Tahlilan Umat
Muslim di Negeri kami, karena kami datang atas undangan keluarga si mayit,
dengan jumlah yang sudah diperhitungkan oleh keluarga si mayit, dan keluarga si
mayit pun tidak merasa terbebani dengan hidangan makanan yang di sajikan karena
sudah diperhitungkan, serta selain itu, semua hidangan tersebut adalah bentuk
terimakasih kepada para tamu undangan karena berkenan mendatangi undangannya
dan mau mendo’akan keluarganya yang meninggal dunia.
Jadi maksud pelarangan dalam konteks
permasalahan tersebut adalah berkenaan dengan para Penta’ziyah yang berdatangan
ketika Mayit baru meninggal dunia untuk sekedar menampakan bela sungkawa,
kemudian mereka duduk-duduk berlama-lama sambil menunggu sesuatu dihidangkan
kepada mereka. Jelas sekali secara nalar yang normal juga bahwa hal tersebut
adalah kebiasaan yang sangat buruk, karena akan sangat membebani bagi keluarga
si Mayit, sedangkan mereka sedang dalam keadaan bersedih.
Jadi kita bisa melihat bagaimana mereka Para
Salafi-Wahabi menggunakan dalil-dalil yang dihubung-hubungkan demi menutupi
Aqidah keyakinan mereka yang semu, mereka mempelajarai Agama ini bukan atas
dasar taat kepada Agama, namun atas dasar kehendak nafsu mereka, mereka tidak
mencari kebenaran tapi mereka selalu berusaha mendapatkan pengakuan atas kebenaran
semu yang mereka yakini. Target mereka adalah orang-orang Islam yang tidak mau
ngaji, yang baru mengenal Ajaran Islam dan sedang bersemangat untuk
mengamalkannya, tanpa dasar yang kuat akhirnya banyak saudara kita yang terbawa
oleh Paham ajaran mereka.