Istilah Khulafaur
Rasyidin di kenal setelah Wafat Baginda Nabi SAW, mereka adalah Para pemimpin
yang diberi petunjuk untuk menggantikan kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah
SAW, sebelum beliau SAW wafat, beliau tidak menunjuk secara langsung siapakah
yang akan menggantikan beliau sepeninggalnya, mungkin alasannya adalah tiada
perintah dari Allah SWT untuk menunjuk penggantinya, atau kepemimpinan
Rasulullah SAW tetap berlanjut walaupun beliau SAW telah Intiqol untuk membimbing
para Awliya dan Sholihiin, ataupun bisa juga karena kepemimpinan Rasulullah SAW
adalah kepemimpinan secara mutlaq dan Kaaffah, karena belau SAW adalah juga
pemimpin para Nabi dan Rasul bahkan seluruh yang wujud, mampukah seseorang yang
ditunjuk untuk melanjutkan kepemimpinannya yang begitu agung, atau
dikhawatirkan malah akan di kultuskan oleh umat sebagai Nabi selanjutnya.
Wallahu a’lam.
Ketika Rasulullah
SAW wafat, kemudian datang dilema persoalan berkenaan siapakah yang
menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat saat itu. Pada saat itu umat
Islam terbagi menjadi dua kubu, satu Kaum Muhajirin yang meng klaim pengganti
Rasulullah SAW yang berhak adalah dari golongan mereka, karena merekalah
pengikut pertama dan lebih setia kepada Rasulullah SAW, dan kubu kedua yaitu
dari Golongan Anshor yang meng klaim sebagai yang lebih berhak menjadi
pengganti Rasulullah SAW sepeninggalnya karena merekalah yang menolong dakwah
Rasulullah SAW di madinah. Maka kemudian terjadilah konflik internal diantara
mereka tetapi saat itu Allah SWT memberikan kesadaran kepada mereka semua
sehingga bersepakat untuk mengadakan Musyawarah dengan mengadakan pemilihan
berdasarkan suara terbanyak dan masing2 golongan mengusung kandidatnya masing2,
Maka muncul lah kandidat dari Kaum Muhajirin yang salah satunya adalah
Sayyidina Abu Bakkar Siddiq ra dengan mengambil dasar bahwasannya yang ditunjuk
menggantikan Imam shalat ketika Rasulullah SAW sakit adalah beliau ra. Kemudian
dari kaum Anshor muncullah kandidat yang salah satunya adalah bernama Sayyidina
Sa’ad Bin Ubadah ra, selanjutnya setelah melalui perdebatan dan diskusi yang
panjang dengan dasar hujjah masing2 maka atas kesadaran dan kesepakatan
terpilihlah alah seorang kandidatnya, yakni Sayyidina Abu Bakar Siddiq ra
sebagai Khulafaur Rasyidin pertama.
Sayyidina Abu
Bakkar Siddiq ra menjadi khalifah selama 2 tahun lamanya dan beliau ra wafat
pada usia 63 tahun setelah menderita sakit sebelumnya. Sebelum beliau wafat,
beliau menunjuk penggantinya dikarenakan kekhawatiran akan kenangan terjadinya
konflik2 internal ketika pasca Rasulullah SAW wafat atau bisa saja yang
sekarang lebih parah, dan beliau ra memilih langsung Sayyidina Umar Bin Khatab
sebagai penggantinya. Sayyidina Umar Bin Khatab menjadi seorang pemimpin yang
di cintai rakyatnya karena kebijaksanaannya dan pembelaannya yang begitu besar
kepada rakyatnya, bahkan tidak jarang beliau turun langsung dalam menyelesaikan
problematika2 rakyatnya. Beliau seorang yang tegas namun yang dominan menonjol
pada dirinya adalah sifat lembut dan kasih sayangnya kepada rakyatnya. Masa kepemimpinan
beliau sebagai khalifah adalah selama 10 tahun 6 bulan dan beliau wafat di usia
63 tahun (namun masih diperselisihkan). Beliau wafat dengan cara di tikam oleh
seorang majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz. Hal tersebut sesuai dengan do’a dan
permohonan Sayyidina Umar Bin Khatab kepada Allah SWT bahwasannya beliau ra
menginginkan mati sebagai Syuhada (Syahid) di tanah Nabi SAW, maka beliau wafat
di tikam di Madinah, beliau bahagia karena yang membunuhnya adalah seorang yang
tidak pernah Shalat dan bersujud kepada Allah SWT Beliau berkata,
“Alhamdulillah yang telah menentukan kematianku di tangan seseorang yang tidak
beriman dan tidak pernah sujud kepada Allah sekalipun”. Inilah makna Syahid
sebenarnya. (Bukan berperang dengan saudara sesama Muslim). Kemudian Sayyidina Umar
mewasiatkan agar penggantinya yang menjadi Khalifah dimusyawarahkan oleh enam
orang yang Rasulullah wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yaitu, Sayyidina
Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash
rah. Sayyidina Umar Bin Khatab adalah seorang yang tegas namun bukan seorang
pemarah, hal tersebut bisa dibuktikan melalui perkataan beliau ketika
menasihati Sayyidina Zubair bin Awam saat Sayyidina Zubair mempermasalahkan
calon pengganti/ khalifah selanjutnya jika Sayyidina Umar ra wafat, saat itu
Sayyidina Zubair menyampaikannya dengan kata2 yang agak ketus, kemudian
Sayyidina Umar menjawabnya Sambil memandang tajam ke arah Sayydina Zubair, Sayyidina Umar r.a.
berkata: (Baca dengan aksen suara rendah karena Sayyidina Umar dalam keadaan lemah karena sakit) “Tentang dirimu, Zubair…, kau itu adalah orang yang lancang mulut,
kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yang
menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak kausukai.
Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada ketika yang
lain engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu,
pada suatu ketika engkau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum
segantang.” Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolah-olah
mengambil nafas untuk mengumpulkan kekuatan dan mengendalikan emosinya.
Kemudian ia meneruskan: “Tahukah engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu?
Lalu siapa yang akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi
syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?”
Enam sahabat
yang diwasiatkan oleh Sayyidina Umar ra untuk memilih khalifah selanjutnya di
sebut dengan Ahlu Syuro, yang kemudian sepeninggal Sayyidina Umar ra mereka
mengadakan musyawarah untuk menentukan khalifah selanjutnya, maka terjadilah
perdebatan yang panjang diantara mereka karena masing2 memilih kandidat dari
kalangan kerabat dan sukunya masing2, sampai pada akhirnya masing2 calon
menarik diri dari pencalonan dan tersisa dua orang yakni Sayyidina Utsman Bin
Affan dan Ali Bin Abi Thalib rah, namun kemudian Sayyidina Ali pun menolak
untuk di bai’at dan akhirnya Sayyidina Utsman lah yang bersedia untuk di bai’at
menjadi Khalifah selanjutnya, pembai’atan tersebut dilakukan oleh Sayyyidina
Abdurrahman Bin Auf ra, beliau adalah seorang yang menggantikan Imam Shalat
ketika Sayyidina Umar ra sakit menjelang wafatnya. Perlu diketahui bahwasannya
selama kepemimpinan para Khalifah sebelumnya bukannya tidak ada yang
menyelisihi kebijakan2 yang di terapkan oleh khalifah Abu bakar dan Umar rah,
beberapa sahabat ada yang tidak sepandangan dengan kebijakan2 mereka ketika
memimpin, namun para sahabat tetap menjunjung tinggi arti kesetiaan kepada
seorang pemimpin, dan mereka lebih memilih diam. Dan ketika Sayyidina Utsman
dibai’at menjadi khalifah selanjutnya setelah Sayyidina Umar rah maka secara
serentak tanpa keraguan mereka menyetujui pembai’atan tersebut.
Namun ketika
kesabaran mulai hilang dari hati dan kemudian kemarahan serta provokasi dan
fitnah semakin merajalela diakibatkan spekulasi dan dugaan2 yang muncul dalam
benak para sahabat berkenaan dengan kebijakan2 pemerintahan sejak masa pemerintahan
khalifah pertama. Maka pada masa
khalifah Utsman ra mulai lah terjadi konflik yang berujung pada demonstrasi dan
peperangan saudara yang pada kenyataannya tidaklah menjadi solusi sama sekali,
malahan terus berlarut2 menjadi sikap dan cara yang semakin merusak peradaban
dan norma2 dalam ajaran Islam.
Demonstrasi yang
dilakukan rakyat kepada pemerintah pertama dilakukan pada masa kepemimpinan
khalifah Utsman bin Affan ra karena adanya penilaian konspirasi, kolusi dan
nepotisme dalam internal pemerintahan. Dan hal tersebut terjadi memang sejak
masa pemerintahan khalifah Umar Bin Khatab ra. Namun semua itu hanyalah sebatas
penilaian karena di dorong oleh fanatisme kekerabatan dan tribes dalam tradisi
masyarakat Arab saat itu. Maka muncul lah gerakan demonstrasi Anti-Utsman
disebabkan oleh banyaknya faktor dan beberapa diantaranya adalah yang saya
sebutkan diatas. Dan pada akhirnya terjadilah sebuah peristiwa besar dari Kelompok
ma¬syarakat yang berdemonstrasi ini mendatangi kediaman khalifah dan
mengepungnya hingga akhirnya khalifah Usman ibn Affan tewas mengenaskan di
tangan para pemberontak pada 35 H/656 M. Namun kematian Khalifah Utsman ini
tidaklah menyelesaikan persoalan yang terjadi karena setelahnya diangkatlah
Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra yang oleh sebagian rakyat dianggap tidak
legiminated karena dianggap tidak mewakili suara mayoritas rakyat pada saat itu,
karena hanya di dukung oleh kelompok pemberontak. Dengan terpilihnya Sayyidina
Ali Bin Abi Thalib ra sebagai khalifah tidak menjadi penyelesaian politik pada
saat itu, sebaliknya malah terjadi krisi konflik yang semakin rumit akibat
banyaknya protes dari pada pendukung Khalifah Utsman ra yang disebut dengan “Utsmaniyyun”
dan mereka yang masih merasa tidak puas. Maka konflik ini berujung pada
peperangan Shiffin (38 H/657 M) yang di selelsaikan dengan cara Tahkim
(Kemenangan Politik Muawiyyah), akibatnya muncul lah penentang baru Khalifah
Ali ra yang disebut Khawarij, dengan lahirnya kelompok ini menambah sulit
posisi Khalifah Ali ra dalam menyelesaikan persoalan politik yang terjadi saat
itu. Kelompok khawarij ini adalah kelompok yang memisahkan diri daripada
ijtihad para sahabat dan dari kelompok mereka ini kelak ada seorang bernama
Ibnu Muljam (seorang yang terkenal sebagai Ahli Ibadah dan hafal Al Qur’an)
yang kelak menjadi Pembunuh dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra.
Sebenarnya sebelum
terjadinya perang shiffin, sayyidina Ali ra sudah beberapa kali mengajak dialog
diplomasi agar penyelesaian masalah tersebut tidak melalui cara peperangan,
namun melalui cara2 musyawarah dan damai, namun dari pihak sahabat Muawiyyah ra
karena di dorong oleh kepentingan politik tetap bersikeras dan melakukan
provokasi agar dilakukannya perang. Padahal Sayyidina Ali ra sendiri sudah bisa
mengukur kekuatan lawannya dan optimis akan bisa memenangkan peperangan, namun
beliau ra tidak menyukai dan tidak ridlo dengan jalan pertumpahan darah
saudara2 se imannya. Dan tentang Peristiwa yang melibatkan Sahabat Muawiyyah ra
ini belakangan telah di kabarkan oleh Sayyidina Umar ra menjelang wafatnya
kepada 6 sahabat Ahlu Syuro, Khalifah Umar r.a. berkata kepada Sayyidina
Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat
berkurang, beliau ra kemudian berucap “Aku merasa seakan-akan orang Qurraisy
telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda,” kata Khalifah dengan suara lembut,
“karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda.” Wajah Khalifah Umar r.a.
mendadak kelihatan sendu, seolah-olah sedang menahan perasaan getir yang
menyelinap ke dalam kalbu. “Tetapi aku melihat nantinya anda akan mengangkat
orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu’aith di atas orang lain. Kepada mereka
anda akan menghamburkan harta ghanimah yang tidak sedikit.” Suara Khalifah
meninggi pula: “Akhirnya akan ada segerombolan ‘serigala’ Arab datang
menghampiri anda, lalu mereka akan membantai anda di atas pembaringan.” Dengan
nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri
kata-katanya: “Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang kubayangkan itu,
gerombolan ‘srigala’ itu pasti akan berbuat seperti yang kukatakan. Dan kalau
yang demikian itu benar-benar terjadi, ingatlah kepada kata-kataku ini! Semua
itu akan terjadi”. Perlu diketahui bahwa Sahabat Muawiyyah adalah dari
keturunan Umayah (Bani Umayah), dan yang dimaksud dengan srigala adalah para
demonstran anti-Ustman yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman ra.
Sejarah ini
menjadi pelajaran untuk kita semua bahwa peperangan, anarkisme serta radikalisme
adalah cara2 yang tidak bisa dijadikan solusi untuk mengatasi suatu persoalan,
justru dampaknya akan semakin memperkeruh dan menambah rumit serta menimbulkan
dendam yang berkepanjangan antara pihak2 yang berselisih, terbukti dalam sejarah
tersebut, yang akhirnya menjadikan konflik dalam tubuh umat muslim yang tidak
selesai2 hingga saat ini, namun masih ada waktu jika kita mau duduk bersama dan
membicarakannya secara damai dengan hati yang dingin dan dilandasi prasangka
baik (Husnudzon). Maka semuanya Insya Allah atas irodah Allah akan bisa
terselesaikan. Itulah yang dikehendaki oleh Imam Ali ra ketika persoalan
politik masa khalifah Utsman ra semakin tidak terkendali, dan semua berawal
dari demonstrasi pengerahan masa untuk memaksakan kehendak dan kepentingan
secara sepihak. Hilang kesabaran, dan lahirnya amarah yang dilandasi dengan
prasangka tidak baik (Su’udzon).
Disimpulkan dari berbagai sumber
sejarah Khulafaur Rasyidin.
Wallahu a’lam bish Shawab.
Semoga ada manfa’atnya, Jazakumullah
Ahsanal Jaza...
By : Al Faqir Ilaa Robbihil
Bashir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dengan santun dan bersahaja, tidak boleh caci maki atau hujatan, gunakan argumen yang cerdas dan ilmiah