Jumat, 13 Januari 2017

Belajar dari Sejarah karena Al Quran pun kebanyakan isinya adalah sejarah.




Istilah Khulafaur Rasyidin di kenal setelah Wafat Baginda Nabi SAW, mereka adalah Para pemimpin yang diberi petunjuk untuk menggantikan kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah SAW, sebelum beliau SAW wafat, beliau tidak menunjuk secara langsung siapakah yang akan menggantikan beliau sepeninggalnya, mungkin alasannya adalah tiada perintah dari Allah SWT untuk menunjuk penggantinya, atau kepemimpinan Rasulullah SAW tetap berlanjut walaupun beliau SAW telah Intiqol untuk membimbing para Awliya dan Sholihiin, ataupun bisa juga karena kepemimpinan Rasulullah SAW adalah kepemimpinan secara mutlaq dan Kaaffah, karena belau SAW adalah juga pemimpin para Nabi dan Rasul bahkan seluruh yang wujud, mampukah seseorang yang ditunjuk untuk melanjutkan kepemimpinannya yang begitu agung, atau dikhawatirkan malah akan di kultuskan oleh umat sebagai Nabi selanjutnya. Wallahu a’lam.
Ketika Rasulullah SAW wafat, kemudian datang dilema persoalan berkenaan siapakah yang menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat saat itu. Pada saat itu umat Islam terbagi menjadi dua kubu, satu Kaum Muhajirin yang meng klaim pengganti Rasulullah SAW yang berhak adalah dari golongan mereka, karena merekalah pengikut pertama dan lebih setia kepada Rasulullah SAW, dan kubu kedua yaitu dari Golongan Anshor yang meng klaim sebagai yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW sepeninggalnya karena merekalah yang menolong dakwah Rasulullah SAW di madinah. Maka kemudian terjadilah konflik internal diantara mereka tetapi saat itu Allah SWT memberikan kesadaran kepada mereka semua sehingga bersepakat untuk mengadakan Musyawarah dengan mengadakan pemilihan berdasarkan suara terbanyak dan masing2 golongan mengusung kandidatnya masing2, Maka muncul lah kandidat dari Kaum Muhajirin yang salah satunya adalah Sayyidina Abu Bakkar Siddiq ra dengan mengambil dasar bahwasannya yang ditunjuk menggantikan Imam shalat ketika Rasulullah SAW sakit adalah beliau ra. Kemudian dari kaum Anshor muncullah kandidat yang salah satunya adalah bernama Sayyidina Sa’ad Bin Ubadah ra, selanjutnya setelah melalui perdebatan dan diskusi yang panjang dengan dasar hujjah masing2 maka atas kesadaran dan kesepakatan terpilihlah alah seorang kandidatnya, yakni Sayyidina Abu Bakar Siddiq ra sebagai Khulafaur Rasyidin pertama.
Sayyidina Abu Bakkar Siddiq ra menjadi khalifah selama 2 tahun lamanya dan beliau ra wafat pada usia 63 tahun setelah menderita sakit sebelumnya. Sebelum beliau wafat, beliau menunjuk penggantinya dikarenakan kekhawatiran akan kenangan terjadinya konflik2 internal ketika pasca Rasulullah SAW wafat atau bisa saja yang sekarang lebih parah, dan beliau ra memilih langsung Sayyidina Umar Bin Khatab sebagai penggantinya. Sayyidina Umar Bin Khatab menjadi seorang pemimpin yang di cintai rakyatnya karena kebijaksanaannya dan pembelaannya yang begitu besar kepada rakyatnya, bahkan tidak jarang beliau turun langsung dalam menyelesaikan problematika2 rakyatnya. Beliau seorang yang tegas namun yang dominan menonjol pada dirinya adalah sifat lembut dan kasih sayangnya kepada rakyatnya. Masa kepemimpinan beliau sebagai khalifah adalah selama 10 tahun 6 bulan dan beliau wafat di usia 63 tahun (namun masih diperselisihkan). Beliau wafat dengan cara di tikam oleh seorang majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz. Hal tersebut sesuai dengan do’a dan permohonan Sayyidina Umar Bin Khatab kepada Allah SWT bahwasannya beliau ra menginginkan mati sebagai Syuhada (Syahid) di tanah Nabi SAW, maka beliau wafat di tikam di Madinah, beliau bahagia karena yang membunuhnya adalah seorang yang tidak pernah Shalat dan bersujud kepada Allah SWT Beliau berkata, “Alhamdulillah yang telah menentukan kematianku di tangan seseorang yang tidak beriman dan tidak pernah sujud kepada Allah sekalipun”. Inilah makna Syahid sebenarnya. (Bukan berperang dengan saudara sesama Muslim). Kemudian Sayyidina Umar mewasiatkan agar penggantinya yang menjadi Khalifah dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yaitu, Sayyidina Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash rah. Sayyidina Umar Bin Khatab adalah seorang yang tegas namun bukan seorang pemarah, hal tersebut bisa dibuktikan melalui perkataan beliau ketika menasihati Sayyidina Zubair bin Awam saat Sayyidina Zubair mempermasalahkan calon pengganti/ khalifah selanjutnya jika Sayyidina Umar ra wafat, saat itu Sayyidina Zubair menyampaikannya dengan kata2 yang agak ketus, kemudian Sayyidina Umar menjawabnya Sambil memandang tajam ke a­rah Sayydina Zubair, Sayyidina Umar r.a. berkata: (Baca dengan aksen suara rendah karena Sayyidina Umar dalam keadaan lemah karena sakit) “Tentang dirimu, Zubair…, kau itu adalah orang yang lancang mulut, kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yang menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak kau­sukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada ketika yang lain engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu, pada suatu ketika eng­kau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segan­tang.” Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolah-­olah mengambil nafas untuk mengumpulkan kekuatan dan me­ngendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: “Tahukah engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yang akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?”
Enam sahabat yang diwasiatkan oleh Sayyidina Umar ra untuk memilih khalifah selanjutnya di sebut dengan Ahlu Syuro, yang kemudian sepeninggal Sayyidina Umar ra mereka mengadakan musyawarah untuk menentukan khalifah selanjutnya, maka terjadilah perdebatan yang panjang diantara mereka karena masing2 memilih kandidat dari kalangan kerabat dan sukunya masing2, sampai pada akhirnya masing2 calon menarik diri dari pencalonan dan tersisa dua orang yakni Sayyidina Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib rah, namun kemudian Sayyidina Ali pun menolak untuk di bai’at dan akhirnya Sayyidina Utsman lah yang bersedia untuk di bai’at menjadi Khalifah selanjutnya, pembai’atan tersebut dilakukan oleh Sayyyidina Abdurrahman Bin Auf ra, beliau adalah seorang yang menggantikan Imam Shalat ketika Sayyidina Umar ra sakit menjelang wafatnya. Perlu diketahui bahwasannya selama kepemimpinan para Khalifah sebelumnya bukannya tidak ada yang menyelisihi kebijakan2 yang di terapkan oleh khalifah Abu bakar dan Umar rah, beberapa sahabat ada yang tidak sepandangan dengan kebijakan2 mereka ketika memimpin, namun para sahabat tetap menjunjung tinggi arti kesetiaan kepada seorang pemimpin, dan mereka lebih memilih diam. Dan ketika Sayyidina Utsman dibai’at menjadi khalifah selanjutnya setelah Sayyidina Umar rah maka secara serentak tanpa keraguan mereka menyetujui pembai’atan tersebut.
Namun ketika kesabaran mulai hilang dari hati dan kemudian kemarahan serta provokasi dan fitnah semakin merajalela diakibatkan spekulasi dan dugaan2 yang muncul dalam benak para sahabat berkenaan dengan kebijakan2 pemerintahan sejak masa pemerintahan khalifah pertama. Maka  pada masa khalifah Utsman ra mulai lah terjadi konflik yang berujung pada demonstrasi dan peperangan saudara yang pada kenyataannya tidaklah menjadi solusi sama sekali, malahan terus berlarut2 menjadi sikap dan cara yang semakin merusak peradaban dan norma2 dalam ajaran Islam.
Demonstrasi yang dilakukan rakyat kepada pemerintah pertama dilakukan pada masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan ra karena adanya penilaian konspirasi, kolusi dan nepotisme dalam internal pemerintahan. Dan hal tersebut terjadi memang sejak masa pemerintahan khalifah Umar Bin Khatab ra. Namun semua itu hanyalah sebatas penilaian karena di dorong oleh fanatisme kekerabatan dan tribes dalam tradisi masyarakat Arab saat itu. Maka muncul lah gerakan demonstrasi Anti-Utsman disebabkan oleh banyaknya faktor dan beberapa diantaranya adalah yang saya sebutkan diatas. Dan pada akhirnya terjadilah sebuah peristiwa besar dari Kelompok ma¬syarakat yang berdemonstrasi ini mendatangi kediaman khalifah dan mengepungnya hingga akhirnya khalifah Usman ibn Affan tewas mengenaskan di tangan para pemberontak pada 35 H/656 M. Namun kematian Khalifah Utsman ini tidaklah menyelesaikan persoalan yang terjadi karena setelahnya diangkatlah Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra yang oleh sebagian rakyat dianggap tidak legiminated karena dianggap tidak mewakili suara mayoritas rakyat pada saat itu, karena hanya di dukung oleh kelompok pemberontak. Dengan terpilihnya Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ra sebagai khalifah tidak menjadi penyelesaian politik pada saat itu, sebaliknya malah terjadi krisi konflik yang semakin rumit akibat banyaknya protes dari pada pendukung Khalifah Utsman ra yang disebut dengan “Utsmaniyyun” dan mereka yang masih merasa tidak puas. Maka konflik ini berujung pada peperangan Shiffin (38 H/657 M) yang di selelsaikan dengan cara Tahkim (Kemenangan Politik Muawiyyah), akibatnya muncul lah penentang baru Khalifah Ali ra yang disebut Khawarij, dengan lahirnya kelompok ini menambah sulit posisi Khalifah Ali ra dalam menyelesaikan persoalan politik yang terjadi saat itu. Kelompok khawarij ini adalah kelompok yang memisahkan diri daripada ijtihad para sahabat dan dari kelompok mereka ini kelak ada seorang bernama Ibnu Muljam (seorang yang terkenal sebagai Ahli Ibadah dan hafal Al Qur’an) yang kelak menjadi Pembunuh dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra.
Sebenarnya sebelum terjadinya perang shiffin, sayyidina Ali ra sudah beberapa kali mengajak dialog diplomasi agar penyelesaian masalah tersebut tidak melalui cara peperangan, namun melalui cara2 musyawarah dan damai, namun dari pihak sahabat Muawiyyah ra karena di dorong oleh kepentingan politik tetap bersikeras dan melakukan provokasi agar dilakukannya perang. Padahal Sayyidina Ali ra sendiri sudah bisa mengukur kekuatan lawannya dan optimis akan bisa memenangkan peperangan, namun beliau ra tidak menyukai dan tidak ridlo dengan jalan pertumpahan darah saudara2 se imannya. Dan tentang Peristiwa yang melibatkan Sahabat Muawiyyah ra ini belakangan telah di kabarkan oleh Sayyidina Umar ra menjelang wafatnya kepada 6 sahabat Ahlu Syuro, Kha­lifah Umar r.a. berkata kepada Sayyidina Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang, beliau ra kemudian berucap “Aku merasa seakan-akan orang Qurraisy telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda,” kata Khalifah dengan suara lembut, “karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda.” Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu, se­olah-olah sedang menahan perasaan getir yang menyelinap ke dalam kalbu. “Tetapi aku melihat nantinya anda akan mengangkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu’aith di atas orang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah yang tidak sedikit.” Suara Khalifah meninggi pula: “Akhirnya akan ada segerombolan ‘serigala’ Arab datang meng­hampiri anda, lalu mereka akan membantai anda di atas pem­baringan.” Dengan nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya: “Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang kubayangkan itu, gerombolan ‘srigala’ itu pasti akan berbuat seperti yang kukatakan. Dan kalau yang demikian itu benar-benar terjadi, ingatlah kepada kata-kata­ku ini! Semua itu akan terjadi”. Perlu diketahui bahwa Sahabat Muawiyyah adalah dari keturunan Umayah (Bani Umayah), dan yang dimaksud dengan srigala adalah para demonstran anti-Ustman yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman ra.
Sejarah ini menjadi pelajaran untuk kita semua bahwa peperangan, anarkisme serta radikalisme adalah cara2 yang tidak bisa dijadikan solusi untuk mengatasi suatu persoalan, justru dampaknya akan semakin memperkeruh dan menambah rumit serta menimbulkan dendam yang berkepanjangan antara pihak2 yang berselisih, terbukti dalam sejarah tersebut, yang akhirnya menjadikan konflik dalam tubuh umat muslim yang tidak selesai2 hingga saat ini, namun masih ada waktu jika kita mau duduk bersama dan membicarakannya secara damai dengan hati yang dingin dan dilandasi prasangka baik (Husnudzon). Maka semuanya Insya Allah atas irodah Allah akan bisa terselesaikan. Itulah yang dikehendaki oleh Imam Ali ra ketika persoalan politik masa khalifah Utsman ra semakin tidak terkendali, dan semua berawal dari demonstrasi pengerahan masa untuk memaksakan kehendak dan kepentingan secara sepihak. Hilang kesabaran, dan lahirnya amarah yang dilandasi dengan prasangka tidak baik (Su’udzon).

Disimpulkan dari berbagai sumber sejarah Khulafaur Rasyidin.
Wallahu a’lam bish Shawab.
Semoga ada manfa’atnya, Jazakumullah Ahsanal Jaza...
By : Al Faqir Ilaa Robbihil Bashir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dengan santun dan bersahaja, tidak boleh caci maki atau hujatan, gunakan argumen yang cerdas dan ilmiah

List Video